PENDAHULUAN
Agama sebagai gejala psikologi rupanya cukup memberikan pengertian kepada kita tentang perlu atau tidaknya manusia beragama. Bahkan lebih dari itu, ketika agama benar-benar tidak sanggup memberikan pegangan bagi masa depan kehidupan manusia, kita pun bisa saja terinspirasi untuk menciptakan Agama baru, atau setidaknya melakukan berbagai eksperimen baru sebagai jalan keluar dari berbagai problem kehidupan.
Beberapa dekade lalu, wacana seputar agama pernah diperdebatkan dalam kaitannya dengan ilmu-pengetahuan. Kebanyakan pemikir modern melihat, pada kenyataanya agama merupakan sekumpulan doktrin yang dilegitimasi oleh “prasangka-prasangka” manusia di luar rasionalitas. Sementara, ilmu pengetahuan yang nota bene mengedepankan rasionalitas sangat keras menolak doktrin. Dikotomi ini pada perkembangan selanjutnya juga berimplikasi pada pemahaman bahwa masyarakat yang telah memasuki gerbang rasionalitas akan berkurang keyakinannya terhadap agama, terutama agama formal yang terinstitusi (institutionalized religion). Semakin rasional seseorang, semakin menjauh dia dari ritual agama. Sebaliknya, manusia yang kurang tersentuh rasionalitas, dengan sendirinya akan kuat menyakini ajaran agama.
Fakta sosiologis banyak mendukung pemahaman demikian. Dalam masyarakat modern --seperti di negara-negara Eropa dan Amerika-- banyak orang yang tidak lagi mengindahkan agama. Sementara itu, di banyak negara berkembang yang transformasi ilmu pengetahuannya masih lamban, masyarakatnya masih sangat kuat meyakini ajaran agamanya. Namun kenyataan tersebut hanya ada persepsi sosiologis. Di luar itu, ada sejumlah fenomena yang tidak sepenuhnya berada dalam persepsi demikian.
Sebagai contoh, sekarang kita banyak menemukan masyarakat yang hidup dalam situasi modern, percaya akan rasionalitas, namun tetap memegang ajaran agamanya secara kuat. Lebih dari itu, di negara-negara yang sudah maju, banyak juga ditemukan gejala lari ke agama dalam bentuk-betuk lain seperti sekte-sekte. Inilah beberapa fenomena yang tidak terbantahkan. Kenyataan yang demikian setidaknya disebabkan oleh berbagai macam hal. Salah satunya karena modernitas sendiri tidak selalu memberi perbaikan bagi kondisi umat manusia. Modernitas tak mampu mengatasi berbagai problem dan misteri kehidupan yang menerpa manusia. Bahkan, modernitas sebagai bagian dari proyek kemajuan rasionalitas, nyatanya hanya memberikan konstribusi positif bagi kelas yang dominan. Mereka-mereka yang terpinggirkan mengalami marginalisasi atau keterasingan dari kemajuan zaman.
Situasi inilah yang membuat mereka tergerak untuk menemukan alternatif atau pegangan, karena modernitas bukan lagi rumah yang damai untuk kehidupan. Agama sebagai salah satu ajaran yang memberi tuntunan hidup ternyata banyak dijadikan pilihan. Hanya saja, mengapa agama menjadi pilihan sebagian orang dalam zaman yang serba canggih ini? Kenapa mereka tidak memilih ideologi yang nota bene lahir dari rahim modernitas?
Ada indikasi kuat bahwa di dalam agama terdapat banyak nilai yang bisa dimanfaatkan manusia ketimbang ideologi. Ini disebabkan karena ideologi, hanya membuka diri pada hal-hal yang sifatnya rasional. Dan itu justru membatasi berbagai kepentingan manusia. Sementara agama dengan keleluasaannya memberi banyak ruang. Orang bisa beragama dengan memasukkan banyak rasionalitas, sebagaimana pengalaman para pemikir-pemikir keagamaan yang hidup dalam dunia akademik. Sebaliknya, orang juga bisa dengan leluasa memeluk agama dan merasakan nilai-nilai positifnya tanpa harus capek-capek menggunakan potensi akalnya untuk berpikir.
Adapun Ilmu jiwa dalam perkembangannya dapat meneliti dan mempelajari mekanisme jiwa, yang menimbulkan penyakit-penyakit yang pada dasarnya bukan karena kerusakan pada organic pada tubuh, akan tetapi karena kondisi jiwa, perasaan tertekan, kecewa dan sebagainya.
Dalam kehidupan manusia agama memberi dampak yang cukup berarti. Setiap agama mewajibkan penganutnya untuk melaksanakan ajarannya secara rutin. Bentuk dan pelaksanaan ibadah agama, setidaknya akan ikut berpengaruh dalam menanamkan keluhuran budi pekerti yang pada puncaknya akan menimbulkan rasa taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Segala bentuk ibadah setidaknya akan memberikan bahwa kehidupan ini bukanlah sia-sia tetapi memiliki makna dan bekal untuk diakhirat kelak.
Agama dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan Mental
A. Pengertian Kesehatan Mental
Kesehatan mental sebagai salah satu cabang ilmu jiwa sudah dikenal sejak abad ke-19, seperti dijerman tahun tahun 1875 M, orang sudah mengenal kesehatan mental sebagai suatu ilmu. Pada umumnya dulu pengertian orang pada ilmu kesehatan mental bersifat terbatas dan sempit. Seperti ada yang membatasi pengertian kesehatan mental itu pada absennya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa. Dengan pengertian ini kesehatan mental itu hanya diperuntukkan bagi orang terganggu dan berpenyakit jiwa saja dan tidak diperlukan bagi setiap orang pada umumnya.
Musthofa Fahmi, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Mahmud, menemukan dua pola dalam mendefinisikan kesehatan mental: Pertama pola negative (salabiy), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala neurosis dan psikosis. Kedua, pola positif (ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan sosialnya.
Hanna Djumhana Bastaman lebih luas menyebut empat pola yang ada dalam kesehatan mental, yaitu pola simtomatis, pola penyesuain diri, pola pengembangan dan pola agama. Pertama, pola simtomatis adalah pola yang berkaitan dengan gejala dan keluhan, gangguan atau penyakit nafsaniah. Kedua, pola penyesuaian diri adalah pola yang berkaitan dengan keaktipan seseorang dalam memenuhi kebutuhan pribadi dalam memenuhi hak-hak orang lain. Ketiga, pola pengembangan diri adalah pola yang berkaitan kualitas khas insani. Keempat, pola agama adalah pola yang berkaitan dengan ajaran agama adalah pola yang berkaitan dengan ajaran agama.
Zakiah daradjat merumuskan pengertian kesehatan mental dalam pengertian luas, yaitu dengan memasukan aspek agama didalam nya sebagaimana berikut ini:
Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuain diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan di akhirat.
B. Tanda-tanda Kesehatan Mental
Tanda-tanda kesehatan mental, menurut Muhammad Mahmud, terdapat sembilan macam yaitu: Pertama, kemapanan, ketenangan, dan rileks batin dalam menjalankan kewajiban. Kedua, memadai dalam kreativitas. Ketiga, menerima keberadaan dirinya dan orang lain. Keempat, adanya kemampuan untuk memelihara atau menjaga diri. Kelima, kemampuan untuk memikul tanggung jawab. Keenam, memiliki kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan yang diperbuat. Ketujuh, kemampuan individu untuk membentuk hubungan social yang baik yang dilandasi sikapsaling percaya dan saling mengisi. Kedelapan, memiliki keinginan yang realistic. Kesembilan, adanya rasa jkepuasan, kegembiraan dan kebahagiaan dan menerima nikmat yang di peroleh.
C. Prinsip-prinsip Kesehatan Mental
Yang dimaksud dengan prisip-prinsip kesehatan mental adalah dasar yang harus ditegakkan orang dalam dirinya untuk mendapatkan kesehatan mental yang baik serta terhindar dari gangguan kejiwaan, diantaranya yaitu:
Ø Mempunyai self image atau gambaran dan sikap terhadap diri sendiri yang positif
Ø Memiliki integrasi diri atau keseimbangan fungsi-fungsi jiwa dalam mengatasi problema hidup termasuk stress
Ø Mampu mengaktualisasikan dirinya secara optimal guna berproses mencapai kematangan
Ø Mampu bersosialisasi atau menerima kehadiran orang lain
Ø Menemukan minat dan kepuasan atas pekerjaan yang dilakukan
Ø Memiliki falsafah atau agama yang dapat memberikan makna dan tujuan bagi hidupnya
Ø Mawas diri atau memiliki kontrol terhadap segala keinginan yang muncul; memiliki perasaan benar dan sikap bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya.
D. Peranan Agama dengan Kesehatan Mental
Dalam ilmu kedokteran dikenal dengan istilah “Psikosomatik”. Dimaksudkan dengan istilah tersebut adalah untuk menjelaskan bahwa, terhadap hubungan yang erat antara jiwa dan badan. Jika jiwa berada dalam kondisi yang kurang normal seperti susah, cemas, gelisah dan sebagainya, maka badan turut menderita.
Kematangan beragama dapat dilihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Keyakinan itu ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
Tingkah laku keagamaan Pengalaman keagamaan
William James mencirikan sikap keberagamaan menjadi dua garis besar :
1. Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Tipe ini bagi mereka yang mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu, maksudnya mereka ini menyakini suatu agama dikarenakan adanya penderitaan batin misalnya kemungkinan karena musibah atau sebab lain yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
The Sick Soul Ekstren Musibah
Kejahatan
Intern
2. Tipe Orang Yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Optimis dan gembira, mereka menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis dan pemikiran ynag positif terhadap Tuhannya.
Healthy-Minded-Ness Optimis dan gembira
Ekstrovert dan tak mendalam
Dalam kehidupan manusia, agama memberi dampak yang cukup berarti. Setiap agama mewajibkan penganutnya untuk melaksanakan ajarannya secara rutin. Bentuk dan pelaksanaan ibadah agama, setidaknya akan ikut berpengaruh dalam menanamkan keluhuran budi pekerti, yang pada puncaknya akan menimbulkan rasa taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Segala bentuk ibadah setidaknya akan memberikan makna bahwa kehidupan ini bukanlah sia-sia tetapi memilki makna dan bekal untuk diakhirat kelak.
Pentingnya agama sebagai pertimbangan didalam kesehatan mental, diantaranya:
Ø Dari latar belakang keagamaan, memudahakan terapi untuk memahami konflik yang ada pada pasien
Ø Terapi dapat disesuaikan dengan kepercayaan pasien, baik kognitif dan behaviornya
Ø Terapi dapat dapat dihubungkan selain faktor diagnostik tetapi juga faktor keyakinan yang dimiliki pasien.
Salah satu contoh terapi yang dihubungkan dalam keagamaannya, bagaimana saat dimana seseorang mengalami kesukaran dan problema kehidupan sehari-harinya yaitu dengan kesabaran dan shalat.
Sikap Mental Yang Mesti Tumbuh Dari Agama
Agama diturunkan untuk manusia untuk keselamatan hidupnya di dunia dan di akhirat. Karena fungsi agama sebagai petunjuk, maka agama harus berpengaruh pada penganutnya yaitu mengendalikan sikap dan perilakunya agar selalu berada pada jalan yang benar. Sebagai petunjuk hidup, agama harus mengendalikan perbuatan dan perilaku manusia. Bila manusia mengaku beragama, tetapi hidupnya tidak diatur oleh agamanya atau agama tidak berpengaruh dalam kehidupan sehari-harinya untuk mempertimbangkan baik buruk, halal haram dan benar salah, maka ia sama saja dengan tidak beragama. Berikut ini adalah lima pengaruh agama yang harus ada pada sikap mental kita agar agama itu terasa manfaatnya, membawanya pada kebenaran dan memberikan kesalamatan hidupnya. Bila lima pengaruh ini tidak ada pada seorang penganut agama artinya agama tidak berpengaruh pada dirinya. Bila pengaruh agama tidak ada pada dirinya, maka sama saja dengan tidak beragama.
1. Normatif
Agama adalah ajaran tentang aturan-aturan atau norma-norma kehidupan yang bersumber dari wahyu Ilahi. Karena agama adalah ajaran tentang norma-norma untuk keselamatan hidup manusia, maka agama harus berdampak normatif pada pemeluknya. Sikap mental pertama yang harus tumbuh dari manusia beragama adalah sikap mental normatif. Dengan agama, pemeluknya menjadi memiliki pedoman normatif dalam hidupnya: tahu salah benar, halal haram, baik buruk, boleh-tidak boleh tentang segala sesuatu dalam sikap dan perilakunya, dan itu dipegang teguh dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya di mulut.
Dengan demikian, agama memberikan pegangan teguh, pedoman, cahaya, petunjuk dalam kehidupan untuk mengetahui mana yang salah dan mana yang benar dan memegang teguh dalam kehidupan sehari-hari.. Agama akan terasa manfaat dan fungsinya bila norma-norma agama diikuti, dipegang teguh dan diamalkan.
2. Sensitif
Dampak pengaruh kedua yang mesti dirasakan oleh manusia dari agama adalah sikap sensitif. Artinya, dengan ajaran agama yang dianutnya, seseorang menjadi sensitif terhadap lingkungan sosial, kehidupan politik, kebudayaan, ekonomi, lingkungan alam dan sebagainya. Sensitif disini adalah sikap yang peka terhadap segala keburukan, kesalahan, kekeliruan, penyelewengan, hal-hal yang tidak beres, tidak benar dan sebagainya, lalu menghindarinya sekuat mungkin. Sensitif ini terhadap baik dan buruk, salah dan benar. Yang salah tidak diikuti yang benar didukung dan diikuti.
Bila kita tidak sensitif terhadap segala bentuk kemungkaran, keburukan dan kesalahan di sekitar kita berarti mununjukkan agama yang kita anut tidak berfungsi, pengakuan beragama kita hanya di mulut saja, kita seolah tidak beragama karena fungsi agama tidak hidup dalam diri kita.
3. Tentatif
Kesadaran dan sikap mental ketiga yang harus tumbuh dalam diri kita dari agama adalah kesadaran tentatif (sementara). Kesadaran tentatif artinya sadar betul hidup ini hanya sementara, sebentar dan tidak lama. Kita ini tidak lama hidup di dunia, hanya sementara dan kemudian akan mati memasuki kehidupan akhirat, menghadap Allah Rabbul ‘Izzati. Kehidupan akhirat adalah tempat kita mempertanggungjawaban kehidupan kita selama di dunia. Di akhirat kelak, ada Tuhan Yang Maha Gagah Perkasa yang akan memeriksa segala amal dan dosa-dosa selama kita hidup di dunia..
4. Positif
Sikap mental keempat yang harus tumbuh dari manusia beragama adalah sikap positif yaitu optimisme, memiliki harapan masa depan yang lebih baik. Salah satu dasar lain dari ajaran agama adalah bahwa agama itu memberikan harapan akan masa depan yang lebih baik. “Wa lal âkhiratu khairun laka minal ûlâ. Walasau fayu’tika rabbuka fatardha.” (Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.
5. Radio Aktif
Terakhir adalah sikap mental radio aktif. Salah satu ciri agama adalah ajarannya tentang kebenaran. Selain kebenaran, agama juga mengajarkan keyakinan kepada Tuhan, bersikap dan berfikir positif, pentingnya memiliki iman, pegangan dan keteguhan dalam hidup dan seterusnya. Agama juga menjanjikan keselamatan dunia dan akhirat bagi pemeluknya, menjanjikan surga bagi mereka iman kepada Allah dan berbuat baik. Kebenaran agama itu adalah cahaya yang menerangi kehidupan manusia dari kegelapan kepada jalan keselamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiah. 1996. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Rahmat, Jalaluddin. 2005. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Rumah Ilmu Indonesia | www.rezaervani.com – http://groups.yahoo.com/group/rezaervani
http://www.gsn-soeki.com/wouw/a000087.php